Kampong Tappela – The Loss of a Village

Dari BASAsulselWiki
Lompat ke:navigasi, cari
Judul
Kampong Tappela – The Loss of a Village
Original language
English
Peunulis
Illustrator
    Penerbit
    Ahmad Muzzammil
    ISBN
    Tahun terbit
    Subjek
      Pencarian Book
      Related Env. Initiatives
        Related Places
          Related Biographies
            Related Children's Books
              Related Holidays
                Related Folktales
                  Related Comics
                    Related Lontar
                      Linked words


                        Tambahkan komentar Anda
                        BASAsulselWiki menerima segala komentar. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang anonim, silakan daftar atau masuk log. Gratis.

                        Deskripsi

                        Cerita rakyat ini adalah cerita rakyat dari pulau tempat saya berasal di Sulawesi Selatan. Kisah ini merupakan kisah tragis yang dialami penduduk sebuah desa, yang mana ada wabah penyakit misterius yang menimpa warga desa. Kisah ini telah diceritakan secara turun temurun di keluarga saya dan ini menjadi cerita tersendiri yang ada di pulau kami. Saya mendengar cerita ini dari nenek saya dan kemudian ibu saya juga menceritakan hal yang sama. Kami semua mengetahui cerita hilangnya desa tersebut walaupun mungkin lumayan susah untuk dipercaya tetapi saya yakin akan adanya cerita tersebut. Saya bisa melihat bukti bahwa memang benar adanya sebuah perkampungan yang tidak berpenghuni sama sekali dan tidak lagi terjamah oleh manusia. Oleh karena adanya cerita tersebut sehingga setiap orang yang melintasi desa tersebut bahkan saya setiap kali melaluinya akan teringat dengan cerita tragis tersebut. Diperkirakan sekitar tahun 1960an menjadi awal mula munculnya wabah penyakit ini Di bagian selatan Pulau Jampea ada sebuah perkampungan yang mulanya hidup dengan damai. Walaupun saat itu Indonesia telah merdeka, tetapi karena desa ini berada di suatu pulau yang sangat terpencil sehingga peradaban pada saat itu masih sangat tradisional. Perkampungan tersebut dikenal dengan nama Paranglandina. Lokasi perkampungan tersebut tidak jauh dari pantai dan gunung sehingga terdapat banyak kebun dan sawah dan akses menuju laut pun terbilang cukup mudah. Oleh karena itu, mayoritas penduduk desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan (Pakoko na papekang dalam bahasa daerah setempat). Kehidupan mereka yang awalnya aman-aman saja seketika berubah menjadi mengcekam setelah adanya wabah penyakit yang menyerang penduduk setempat.

                        Hal ini bermula pada suatu pagi yang cerah tiba-tiba berubah menjadi hari paling buruk. Angin kencang beserta hujan deras mengguyur desa tersebut. Nelayan tidak dapat melaut dikarenakan angin kencang dan ombak besar dan petani tidak dapat pergi ke lahan perkebunan mereka sebab hujan sangat deras. Angin terus bertiup dengan kencang dari segala penjuru dan hujan tidak pernah redah seakan ini pertanda akan adanya sesuatu setelah badai ini. Cuaca menjadi normal pada keesokan harinya, dimana angin sudah tidak bertiup, hujan telah redah dan laut menjadi begitu tenang. Mereka telah mulai beraktivitas seperti biasanya namun ada sedikit kejanggalan yang dirasakan oleh sebagian penduduk. Biasanya setelah hujan suhu udara menjadi sangat sejuk tapi hari itu justru sebaliknya suhu udara menjadi sangat panas dan membuat badan menjadi gerah. Walaupun demikian warga desa harus tetap beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Para petani sudah mulai beranjak ke perkebunan mereka, para nelayan pun telah melaut, anak-anak bermain-main di halaman rumah mereka dengan perasaan senang dan para ibu rumah tangga sudah sibuk di dapur masing-masing. Hingga pada siang hari salah seorang warga desa merasakan gejala suatu penyakit. Penyakit ini merupakan penyakit baru yang disebabkan oleh virus dan aneh bagi masyarakat setempat. Dia terus mengerang kesakitan pada perutnya serta badan yang demam menggigil, penyakit ini semacam diare parah (Jambang-jambang dalam Bahasa Selayar) dan muntah-muntah (Ammiruak-miruak sebutan bagi masyarakat setempat) yang terus menerus disertai demam tinggi (Bambang sannak). Keluarganya berusaha untuk menjadi tabib (Sanro) untuk mengobatinya. Tetapi hasilnya nihil, tabib atau sanro tersebut pun tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan. Semua tabib di desa tersebut telah datang untuk membantu, tetangganya pun dating untuk melihat keadaannya tapi ironisnya dia semakin merasa kesakitan, demam semakin tinggi, muntah-muntah semakin parah diarenya pun demikian. Keluarga serta tabib tersebut menjadi sangat panik serta heran, segala pengobatan dan obat-obat tradisional sudah diberikan tetapi semakin parah. Dan akhirnya, tidak berselang waktu lama dia pun telah mati. Hal ini membuat keluarganya menangis histeris karena sebelumnya dia sangat sehat namun selang beberapa jam dia telah pergi dengan keanehan penyakit yang dideritanya. Berita tentang penyakit aneh dan kematian salah seorang warga desa tersebar dengan cepat ke seluruh warga. Mereka mulai berdatangan untuk melayat sekaligus membicarakan penyakit aneh tersebut. Ada perasaan was-was di hati mereka karena penyakit yang menyerang tersebut. Sementara warga yang lain membantu untuk mengurus penguburan mayat tersebut. Ketika mengurus mayat maka kita berkontak langsung dengan mayat tersebut. Hingga setelah proses penguburan tersebut warga yang lain juga merasakan gejala yang sama. Dan berakhir sama dengan korban sebelumnya dalam selang waktu yang singkat. Penyakit tersebut terus menjangkiti warga desa. Hingga satu persatu dari mereka menjadi korban. Tanpa mengenal waktu pagi, siang dan malam warga terus merasakan gejala penyakit aneh tersebut. Tangisan keluarga korban terus bersahut-sahutan dari ujung utara hingga selatan, timur hingga barat. Air mata seakan membanjiri setiap rumah serta kepanikan seakan membuat mereka tidak peduli dengan korban yang lain. Yang ada di hati mereka hanyalah ketakutan tentang sadisnya penyakit ini. Penyakit yang awalnya hanya menyerang satu orang lalu menyebar ke orang lain tersebut tidak mengenal tua atau muda, sehat atau pun sakit bahkan tabib sekalipun menjadi korban dari wabah tersebut. Semakin lama gejala penyakit tersebut apabila menyerang manusia maka akan sangat cepat untuk menuju kematian. Hingga sebagian penduduk telah mati. Keadaan semakin memburuk di desa tersebut. Anak-anak di halaman rumah tidak lagi bermain dengan ceria melainkan menangis dengan keras karena orang tua mereka sudah mati sambil mereka terus memanggil “Ammak, Tetta tena maki…” (Ibu, Bapak di mana kalian?). Orang dewasa tidak lagi pergi bekerja melainkan berlari kesana-kesini dengan raut muka panik dan cemas untuk mencari bantuan untuk membantu keluarganya yang terjangkiti. Namun, seluruh warga desa kini telah sibuk masing-masing dengan apa yang menimpa keluarganya, mereka tidak lagi memikirkan orang lain. Mereka terus meminta bantuan dan berteriak “Tolong, tolong…, Bantu kami kumohon” dengan suara keras. Mereka bahkan hanya bisa melihat dan menangisi ibu, bapak, atau anak serta kerabat mereka tanpa mengetahui mereka harus melakukan apa dengan mayat tersebut. Raungan tangis para ibu tidak bisa merubah keadaan yang telah dirasakan. Bahkan ketika malam mulai menyapa keadaan semakin mencekam. Gelapnya malam, tangisan, rasa takut serta cemas dan panik menjadi satu dalam hati dan pikiran mereka yang masih sehat. Walaupun mereka tahu bahwa korban berikutnya adalah mereka. Keadaan tersebut seakan menjadi kutukan bagi desa mereka. Mereka yang masih hidup kini telah saling merangkul dan bergandeng tangan untuk segera keluar dari desa menakutkan itu. Jumlah mereka tidak banyak karena keluarga mereka telah mati. Bahkan ada dari mereka yang memilih untuk tetap di kampung tersebut untuk menemani keluarganya walaupun mereka harus mati juga. Mereka meninggalkan kampung tersebut dan meninggalkan mayat keluarga mereka tanpa mereka kuburkan terlebih dahulu. Dengan berat hati mereka meninggalkan semua hal berharga yang dimiliki. Mereka beranjak dari rumah-rumah mereka dan untuk terakhir kalinya mereka semua berbaris di gerbang kampung lalu berbalik untuk melihat dan meninggalkan kenangan mereka bersama keluarga dengan tangis pada wajah mereka. Mereka mengungsi ke pulau seberang dengan perahu. Mereka-mereka inilah yang menceritakan keadaan kampung mereka yang terserang wabah penyakit mematikan. Tidak bertahan lama mereka yang berhasil keluar dari kampung tersebut pun meninggal dunia dengan gejala seperti yang mereka ceritakan sendiri. Nenek-nenek kami menceritakan bahwa tidak ada satu warga pun yang selamat dari wabah penyakit itu meskipun mereka berhasil keluar dari desa tersebut.
                        Kejadian menakutkan yang menimpa seluruh warga desa Paranglandina di Pulau Jampea tersebut menyebabkan desa atau wilayah bekas desa tersebut ditutup. Perkampungan yang dahulunya ramai dengan orang kini menjadi lahan luas yang sunyi dan senyap. Orang-orang tidak berani untuk mendatangi desa tercemar tersebut. Kejadian-kejadian aneh serta menyeramkan seringkali menghantui masyarakat di pulau tersebut apabila melintasi wilayah bekas desa tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu cerita tentang kejadian beberapa puluh tahun yang lalu sering menjadi perbincangan masyarakat. Saat ini, wilayah bekas perkampungan tersebut masuk dalam batas wilayah Desa Teluk Kampe, Kecamatan Pasimasunggu, Kabupaten Kepualauan Selayar. Orang-orang zaman sekarang sudah mulai membuka lahan perkebunan kembali di desa itu walaupun terkadang gangguan arwah penduduk yang masih terus menghantui. Cerita tentang kejadian mencekam yang menimpa tersebut tetap akan menjadi kenangan pahit sekaligus wabah penyakit tragis pertama yang ada di pulau Jampea.

                        Reviews