Tell us about your emotional holiday moments! Post your comments here or propose a question.

Asal Usul Letta

Title
Asal Usul Letta
Original language
Indonesian
Author(s)
Illustrator(s)
    Publisher
    Muh. Yusril Abidin
    ISBN
    Publication date
    Subjects
      Find Book
      Related Env. Initiatives
        Related Places
          Related Biographies
            Related Children's Books
              Related Holidays
                Related Folktales
                  Related Comics
                    Related Lontar
                      Linked words


                        Add your comment
                        BASAsulselWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

                        Description(s)

                        The Origin of Letta This story has been passed down from generation to generation in the Letta community, and is believed to signify the beginning of Letta’s population. Some people think that this story coincides with the great flood in the Prophet Noah’s era. As the writer, I decided to retell this story because it is one that was often told to me as a bedtime story. It is important to me because Letta is my homeland. Thousands of years ago, there was a huge flood that covered almost the entire surface of the earth. The area of Buttu Bajai, cradled between mountain ranges, was not yet flooded. The tree canopy repelled the heat of the sun, the fresh air like a tranquilizer for the soul. Datu Patote Ribottillangi lived in Buttu Bajai with his seven men and herd of water buffalo. The buffalo had coarse black hair and tough skin. Every morning, the buffalo would swim and forage, returning as the sun was beginning to sink below the horizon. As the sky turned orange, like a chameleon afraid of the enemy, Datu heard his buffalo returning. In the dimming light, he noticed something strange about their bodies. A red mark stretched along their backs, as though someone had used natural dye to colour their dark hair. A sense of wonder and curiosity filled his mind. He had always felt that there were other people alive but had never seen any sign of human life. The following morning, one of Datu’s seven men trailed the buffalo on foot. After several hours, he arrived in a place surrounded by tall trees and teeming with wildlife. This place was Mammulu. The buffalo gathered beneath a large tree, waiting for its fruit to fall. As he watched, he realized that there was a beautiful woman perched in the tree. He watched as she stripped the betel leaves, crushing them in her mouth. Red saliva dripped from her lips onto the buffalo’s backs. In the evening, he returned home and relayed to Datu what he had seen. In disbelief, Datu sent out another man to follow the buffalo and then another. All of the reports were the same. Finally, Datu decided to see the woman for himself. After arriving at Mammulu, he was immediately transfixed by the woman. He tried to make a conversation with her, before proposing. ‘Meloa te kusanga pubeneki,’ Datu said. ‘I intend to marry you.’ ‘Njo takulle pubenea sa mawatang sombaku,’ the woman replied. ‘You will not be able to marry me because the dowry is very difficult.’ ‘Apara sombata? Doi Raka, Bulawan Raka, or what Raka? Pau kanai!,’ Datu cried. ‘What is the dowry? Is it in the form of money or gold? Please tell me!’ ‘Tannia doi, tannia to bulawan’. The woman fixed her eyes on Datu. ‘It is neither money nor gold.’ ‘Apara palena?’ Datu called out. ‘Then what?’ ‘Melora mabela pakkitakku na malampe pattekkaku.’ ‘I want to be able to see and go further.’ Datu understood then that the woman’s intention was to stop the flood. He agreed to fulfill her wish. As he was returning home, something fell from the sky. It was rattan and a book which contained Surah Ya-sin. Datu understood this as a sign from God. He began to read Surah Ya-sin as he walked and, with each step, the water receded little by little. When he had finished reading Surah Ya-sin, he stopped and stuck the rattan in front of him, indicating that the water would never pass the rattan. The resulting marriage between the woman and Datu brought life to the region that is now known as Letta, a beautiful mountainous area with rich cultural heritage.

                        Review(s)

                        Cerita ini adalah sebuah kisah turun temurun di masyarakat Letta. Sebuah kisah yang dianggap menjadi awal mula populasi di Letta. Beberapa yang menganggap bahwa kisah ini bertepatan dengan kejadian banjir besar di era Nabi Nuh. Saya sebagai penulis memutuskan untuk mengangkat kisah ini karena ini merupakan kisah yang seringkali diceritakan kepada saya sebagai pengantar tidur sejak masih kecil. Di sisi lain, hal itu disebabkan karena Letta adalah tanah kelahiran saya dan kedua orang tua saya. Oleh karena itu, saya menulis cerita ini berdasarkan perspektif saya sendiri meskipun sumber cerita ini adalah ayah saya sendiri. Dan beginilah ceritanya. Ribuan tahun yang lalu, terjadi banjir yang sangat besar dan menenggelamkan hampir seluruh permukaan bumi. Namun tidak dengan daerah yang dikenal dengan sebutan Buttu Bajai (Gunung Bajai). Disamping memiliki dataran yang sangat tinggi, pegunungan tersebut juga dikelilingi dengan pemandangan yang begitu menawan. Pepohonan yang lebat menjulang tinggi seolah berusaha menghalau tanah dari panasnya sinar matahari. Bebatuan besar berselimutkan lumut bak bangunan tak berpenghuni. Dan udara yang begitu segar laksana obat penenang jiwa. Di gunung tersebut hiduplah seorang pria paruh baya bernama Datu Patote Ribottillangi. Dia hidup bersama dengan tujuh anak buahnya serta kerbau yang hampir tak terhitung jumlahnya. Setiap pagi, kerbau-kerbau tersebut dilepas dan pergi berenang serta mencari makan sesuka hatinya dan kembali saat matahari telah menunjukkan tanda-tanda akan tenggelam tanpa takut akan ancaman manusia ataupun binatang lain. Suatu ketika, saat langit mulai memerah dan burung-burung hinggap di pepohonan seolah mencari tempat ternyaman dan teraman untuk beristirahat. Kerbau-kerbau tersebut pun kembali dari pergolakannya mencari makan. Namun, terdapat kejanggalan dari tubuh si kerbau. Pada punggung mereka terdapat tanda merah yang seolah diberikan oleh seseorang. Tanda merah itu membuat Datu heran dan menimbulkan firasat bahwa ada orang lain yang hidup selain ia dan anak buahnya. Rasa heran dan penasaran yang memenuhi pikiran Datu membuatnya memutuskan untuk menyuruh ketujuh anak buahnya untuk mengikuti kerbau-kerbau itu mencari makan di hari-hari yang berbeda. Pada hari pertama proses penyelidikan, bergegaslah salah seorang dari ketujuh anak buah tersebut mengikuti kerbau-kerbau yang pergi mencari makan seperti biasanya. Setelah beberapa jam membuntuti kerbau-kerbau itu, tibalah dia di suatu tempat yang dikenal dengan sebutan Mammulu, yang merupakan tempat kerbau-kerbau itu berenang sekaligus mencari makan. Setelah memperhatikan keadaan di daerah Mammulu, ia menemukan sebuah pohon yang sangat tinggi dan digenangi oleh air. Dibawah pohon tersebutlah, kerbau kerbau itu menunggu makanan yang jatuh dari atas pohon. Selang beberapa saat, ia mulai menyadari bahwa di atas pohon tersebut terdapat seorang wanita yang sangat cantik. Namun ia memutuskan untuk tidak menegur wanita tersebut karena takut apabaila Si Wanita tersebut merasa terganggu. Saat menjelang malam tiba, pulanglah ia bersama dengan kerbau-kerbau itu dan melaporkan keberadaan wanita yang ia lihat di atas pohon tinggi tersebut serta menyebutkan bahwa tanda merah yang ada di punggung kerbau adalah ludah dari Si Wanita itu karena memakan daun sirih. Disebabkan masih belum yakin dengan laporan salah satu anak buahnya, Si Datu kembali menunggu laporan anak buah selanjutnya. Namun hasil yang dilaporkan ketujuh anak buahnya adalah sama. Hingga ia-pun memutuskan untuk mengecek sendiri keberadaan wanita tersebut. sesampainya di Mammulu. Si datu memperhatikan pohon tinggi yang diceritakan anak buahnya dan mendapati bahwa wanita itu memang benar-benar ada. Iapun mengajak wanita tersebut untuk berbicara dan mengakhiri perbincangan itu dengan ajakan untuk menikah. “Meloa te kusanga pubeneki” (Saya berniat untuk menikhimu) kata Si datu “Njo takulle pubenea sa mawatang somba ku” (Kamu tidak akan bisa menikahi saya karena mahar nya sangatlah sulit) kata Si wanita “Apara sombata? Doi raka, bulawan raka, atau apa raka? Pau kanai!” (Mahar apakah gerangan? Apakah itu berupa uang, emas, atau apa? Silahkan sebutkan! “Tannia doi, tannia to bulawan” (Bukan uang pun bukan emas) “apara palena?” (Kalau begitu apa?) “Melora mabela pakkitakku na malampe pattekkaku” (Saya mau mampu melihat dan melamgkah lebih jauh) Si Datu memahami bahwa maksud wanita tersebut adalah menyurutkan banjir. Dan ia menganggap bahwa syarat tersebut bukanlah masalah yang besar. Sehingga ia-pun menerimanya dan berjanji akan merealisasikannya. Datu pun pulang ke kediamannya sembari memikirkan cara untuk menyurutkan air banjir di lokasi itu. Sesampainya di rumah, Sang Datu memperoleh sebuah rotan dan juga kitab yang turun dari langit dan berisikan Surah Ya-Sin. Dia pun mulai berjalan sembari membaca surah Ya-sin dalam kita itu. Di setiap langkah Sang Datu, air akan surut sedikit demi sedikit. Hingga, selesailah Surah Ya-sin itu dan Datu-pun menancapkan rotan di tempat berakhirnya Surah Ya-sin dibacakan. Dan air itu tidak akan pernah melewati rotan tersebut. Kini wilayah yang disyaratkan oleh wanita itu tidak lagi tenggelam, dan menandakan bahwa Sang Datu dan wanita itu akan segera menikah. Dari hasil pernikahan itulah yang menjadi asal mula kehidupan di wilayah tersebut yang kini dikenal dengan sebutan Letta. Sebuah daerah pegunungan yang sangat indah dan dengan warisan budaya yang sangat kaya.