Tell us about your emotional holiday moments! Post your comments here or propose a question.

Literature Orang tua, Gengsi, dan Bahasa daerah

20221025T140230878Z457910.jpg
0
Vote
Photo source
galeri Appilajara Institut
Author(s)
Reference
Competition
Tongkat Estafet Antargenerasi


Add your comment
BASAsulselWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

How can BASAsulel Wiki platform encourage you to participate in civic issues?

Description


In English

In Indonesian

Fenomena orang tua milenial atau istilah anak jaman sekarang orang tua jaman now yang sering kita jumpai cenderung membiasakan anak-anaknya bilingual dimana bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sangat familiar kita jumpai orang tua melontarkan kosakata harian ke anak-anak batita atau balita mereka seperti "come on","go go go", "good boy", "nice girl", dan lain-lain. Fenomena tersebut membuat bahasa daerah makin tergerus.

Tidak bisa dipungkiri, faktor lain yang menyebabkan tergerusnya bahasa daerah yaitu gengsi. Banyak orang tua malu atau cenderung melihat anaknya sebagai "kurang pintar" kalau menggunakan bahasa daerah, seperti di kampung saya sendiri, sangat sering saya jumpai orang tua memarahi anaknya saat berbicara menggunakan bahasa bugis. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya kita memiliki kekayaan bahasa daerah khususnya Bugis-Makassar. Sebagai contoh kecil, penggunaan kata ganti "kamu" dalam bahasa bugis, yaitu "idi" atau dalam bahasa Makassar, yaitu "katte" merujuk kepada orang yang lebih tua. Coba bandingkan dengan bahasa Inggris, kata yang ada hanya "you", dan itu berlaku untuk semua kalangan, termasuk yang lebih tua. Menurutku, bahasa asing sebaiknya mulai diajarkan ketika anak-anak sudah berusia 10 tahun ke atas. Sebelum usia tersebut, anak-anak seharusnya distimulasi bahasa ibu terlebih dahulu, dalam hal ini bahasa ibu yang dimaksud adalah bahasa daerah. Rentang usia tersebut merupakan masa keemasan, pada masa ini anak-anak cenderung menjadi peniru ulung. Nah, ini fase yang sangat baik untuk orang tua mengajarkan nilai-nilai yang kelak membentuk karakter anak melalui bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang digunakan. Sebagai contoh, dalam mengajarkan kesantunan atau akhlak, sudah semestinya orang tua membiasakan anaknya mengucapkan kata "tabe’’. Kata "tabe" ini tidak bisa disejajarkan maknanya dengan bahasa lain, dan masih banyak lagi contoh bahasa daerah yang tidak bisa disejajarkan maknanya dengan bahasa lain. Mengutip kata Butet Manurung "banyak kearifan-kearifan dalam bahasa daerah yang kehilangan ruhnya ketika sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain".

Sekiranya para orang tua menyadari betul hal ini dan mulai menuturkan bahasa daerah ke anak-anak mereka dan menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di sini orang tua berperan penting sebagai pemegang tongkat estafet antargenerasi dalam melestarikan bahasa daerah agar tidak tergerus, karena bahasa daerah merupakan "mana" atau identitas, tak hanya kaya akan kosakata tetapi juga makna dan kebudayaan, dan pastinya tidak kalah dengan bahasa asing.

In Makassar

Fenomena orang tua milenial atau istilahna anak-anaka orang tua jaman now yang seringki jumpai cenderung nabiasakangi anak-anakna bilingual dimana bahasa yang napake’ adalah bahasa Indonesia sama Bahasa Inggris. Sangat familiarki jumpai orang tua melontarkan kosakata harian ke anak-anakna ‘’come on’’, ‘’gogogo’’, good boy, nice girl’’, dll. Bagaimana tena tergerus bahasa daerayya kodong

Tidak bisai pungkiri, faktor lain yang sebabkanki tergerusna bahasa daerah toh karna gengsi. Banyak orang tua malu-malui kalau pake bahasa daerahi anakna atau cenderung nalihat anakna "kurang pintar" kalau pakeki bahasa daerah, seperti di kampungku, seringka’ jumpai orang tua yang namarahi anakna saat bicarai pakai bahasa bugis. Padahal kalau diliatki, sebenarna kita punyaji kekayaan bahasa daerah khususnya Bugis-Makassar. Contoh kecilna, penggunaan kata ganti "kamu" dalam bahasa bugis, yaitu "idi" atau dalam bahasa Makassar, "katte" merujuk kepada orang yang lebih tua. Cobami bandingkan dengan bahasa Inggris, kata "you"ji itu ada, jadi biar sama nenekna atau bapakna "you" ji nabilang, tidak sopanki toh. Menurutku, bahasa asing diajarkan anak-anak kalau sudah10 tahun ke ataspi. Peratma anak-anak distimulasi bahasa daerah dulu sebagai ibu. Rentang usia tersebut merupakan masa keemasan, pada masa ini adalah anak-anak peniru ulung. Nah, inimi fase yang baik untuk orang tua najarkan nilai-nilai yang kelak bentukki karakterna anak-anakna. contohna dalam mengajarkan kesantunan atau akhlak sudah semestina orang tua nabiasakan anakna mengucapkan kata "tabe". Kata "tabe" ini tidak bisa disejajarkan maknanya dengan bahasa lain, nakana Butet Manurung toh banyak kearifan dalam bahasa daerah yang hilangi ruhnya kalau tidak dituturkanki dalam bahsa aslina.

seharuna orang tua nasadari betul hal ini dan mulaimi natuturkan bahasa daerah ke anak-anakna. Di sinimi peran pentingna orang tuayya sebagai pemegang tongkat estafet antargenerasi dalam melestarikan bahasa daerah supaya tidak tergeruski, karena bahasa daerah itu "mana" atau identitas, tak sekedar kaya kosakata tapi juga makna dan kebudayaan, dan pastinyami ndak kalahji sama bahasana La Pute Bellang Mata.



[[Question all::MediaWiki:ActiveWikithonQuestion/ban| ]]