Pembajakan dalam politik dan pemilu yang sering terjadi

From BASAsulselWiki
Revision as of 02:59, 15 December 2023 by Syauqi aqram (talk | contribs) (Edited automatically from page Literature Pembajakan dalam politik dan pemilu yang sering terjadi.)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
20231215T021739159Z601793.jpg
0
Vote
Photo source
Author(s)
    Affiliation
    Universitas Bosowa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik prodi Ilmu Administrasi Negara
    Reference
    Competition
    ForYourPolitics


    Add your comment
    BASAsulselWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

    What will happen if politics is run by young people who only care about memes and emojis rather than laws?

    Description


    In English

    In Indonesian

    Pembajakan Dalam Politik Dan Pemilu Yang Sering Terjadi

    Hari-hari ini semakin boisterous terdengar kritik terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu, khususnya mengenai pemilihan anggota Bawaslu kabupaten/kota. Pada saat pemilu semakin mendekat, Bawaslu daerah justru dihiasi oleh beberapa anggota terpilih baru yang sebelumnya tidak terlibat secara langsung dalam proses pengawasan pemilu. Kondisi ini menyiratkan adanya expensive price yang dipertaruhkan dalam pemilu kali ini.

    Pembajakan atas nama pemilu memang telah jamak ditemukan dalam sejarah bangsa ini. Seringkali pemilu hanya dipahami berdasarkan aspek prosedural, bukan representasional. Pascapemilu, jarang kita mengetahui siapa merepresentasikan siapa dan apa. Akibatnya pemilu hanya menjadi mekanisme prosedural dalam menegaskan dominasi kelompok elite politik tertentu. Pemilu pada akhirnya hanya menghasilkan kelompok elite predatoris yang berjalan berlawanan dengan kepentingan rakyat.

    Para elite tersebut menjadi semakin dominan akibat budaya patronase yang juga terdapat di internal partai politik. Setiap anggota partai merupakan klien yang mencoba mendekat kepada sumber kuasa agar dapat menjadi elite dalam spektrum kuasa lainnya. Akibatnya, demokrasi kita tidak bisa mengandalkan partai politik dalam memperjuangkan suara rakyat. Fungsi partai politik justru dijalankan oleh individu elite dan partai politik kehilangan fungsi utamanya sebagai aktor intermediari. Dari sini kita bisa skeptis dengan fungsi agregasi, artikulasi, dan representasi yang selama ini dilekatkan kepada partai politik.

    Oleh sebab itu, secara lebih luas, saya rasa, dominasi elite ini setidaknya dapat berpengaruh terhadap dua hal terkait demokrasi Indonesia. Pertama, hilangnya nuansa konfrontatif politis dalam demokrasi Indonesia. Kedua, hilangnya akses rakyat atas politik. Sebagai akhiran, ketakutan bahwa pemilu kembali hijacked memang perlu kita lawan dengan menegaskan kembali esensi demokrasi. Hal ini merupakan perjuangan bersama dan tidak bisa hanya mengandalkan aktor atau institusi lama yang kian dikooptasi lingkaran kekuasaan. Perjuangan ini merupakan upaya mengembalikan marwah demokrasi dan menempatkan rakyat sebagai aktor yang aktif dalam ruang politis yang inklusif. Perjuangan ini merupakan perjuangan melawan upaya dominasi elite politik yang terus mengkerdilkan

    makna rakyat dalam demokras

    In Makassar